Pengantar Lahirnya Bank Mandiri sebagai pemimpin pasar di bisnis perbankan Indonesia bukanlah cerita singkat. Tidak seperti hikayat Sangkuriang membangun danau, Bank Mandiri lahir dari krisis multidimensi. Ujian krisis melahirkan bakal bank dengan reputasi tinggi di industri perbankan nasional.
Dilatari krisis moneter 1997-1998, Bank Mandiri hadir sebagai gabungan empat bank pelat merah. Bank yang kemudian melantai di bursa di 2003 ini masih tidak mulus perjalanannya untuk menjadi pemimpin pasar. Kasus meledaknya kredit macet yang berujung pada kasus hukum petinggi Bank Mandiri, menjadi salah satu warna sejarah bank yang saat ini memiliki kapitalisasi pasar di bursa lebih dari Rp100 triliun.
Turunnya reputasi bank sebagai akibat berbagai krisis tersebut tidak menjadikan bank ini terpuruk. Melalui manejemen baru (Mei 2005) yang dipimpin Agus Martowardojo, bank justru menargetkan untuk menjadi regional champion. Sebuah predikat yang tidak gampang dicapai. Namun, kenyataannya saat ini Bank Mandiri telah menjelma menjadi bank dengan aset terbesar dan disegani bukan saja di pasar domestik tapi juga global.
Kondisi Bank Mandiri ini menjadi unik karena bank terlahir dari keterpurukan. Bahkan, keterpurukan di sisi reputasi yang menjadi kunci bisnis bank di manapun di dunia. Sebagai bisnis yang mengedepankan kepercayaan, reputasi merupakan syarat mutlak yang tidak bisa ditawar agar bank bisa menjalankan usahanya. Nah, disinilah fungsi pengelolaan informasi dan hubungan publik (public relations, baca PR) menjadi kunci utama pembangunan kembali reputasi Bank Mandiri.
Fungsi PR ini dikelola secara maksimal. Tidak tanggung-tanggung, sosok CEO secara langsung dan proaktif menggelindingkan bola salju ke-PR-an. Setiap gerak, perkataan, maupun kebiasaan semua board of director (BOD) di bank diarahkan untuk menjadi PR perusahaan. Alhasil, CEO dan BOD bank ini dikenal sebagai ‘sahabat’ para kuli tinta yang tugasnya setiap hari ialah menyediakan informasi. Wartawan yang merupakan kunci dan target ke-PR-an dalam komunikasi dengan publik.
Dalam banyak perbincangan, beberapa wartawan merasa risih jika harus menulis soal Bank Mandiri atau mengutip pernyataan pejabat Bank Mandiri. Soalnya, dalam seminggu mereka bisa bebeberapa kali mengutip atau memberitakan bank pelat merah ini. Hal ini menggambarkan betapa dekatnya jajaran manajemen yang dipimpin langsung CEO-nya dalam membangun komunikasi dengan media. Komunikasi yang bukan hanya dengan pemimpin media, tapi juga jalinan komunikasi di jajaran bawah redaksi media yakni wartawan.
Etos yang diusung langsung oleh CEO bank ini menggelinding bak bola salju yang dikemas divisi media relation Bank Mandiri menjadi alat pembangun reputasi Hasilnya, jika melihat berita-berita di berbagai media massa, dalam hitungan setahun bank ini menjadi pengisi terbanyak lembaran-lembaran koran dan majalah, atau jendela-jendela di situs berita online. Mungkin bank ini hanya kalah dari PT Bank Century Tbk yang menjadi primadona berita karena adanya panitia khusus hak angket parlemen. (ketika merebaknya kasus Century pada pertengahan 2009).
Namun hasil semua itu, Bank Mandiri saat ini telah menjelma menjadi bank raksasa yang sudah geregetan untuk melantai di pasar regional bahkan internasional. Publik seperti amnesia dengan cerita betapa tingginya NPL bank di periode 2005 lalu. Masyarakat lebih ingat dengan petugas teller bank yang bukan hanya cantik-cantik atau gagah-gagah, tapi juga ramah dalam melayani nasabah. Publik lebih ingat dengan logo bank yang kerap mereka lihat di berbagai penjuru kota di atas gedung atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di berbagai pusat perbelanjaan.
Kendati begitu, dari semua kesan yang tersimpan di benak publik ini, publik juga melupakan fungsi PR yang telah sistemik diterapkan Bank Mandiri. Para penggerak ke-PR-an di bank ini telah sukses mencitra ulang bank ber-NPL tinggi menjadi bank paling efisien. Bank yang sempat tercatat kelam karena melanggar hukum menjadi bank yang paling patuh terhadap ketentuan. Bank yang sempat dianggap sebagai bank paling ceroboh menjadi bank dengan manajemen kehati-hatian terbaik.
Bagaimana sebenarnya tindak-tanduk ke-PR-an di bank ini? Metodologi apa yang digunakan sehingga fungsi PR bisa optimal mengarahkan persepsi publik? Bagai mana PR mengemas krisis menjadi kesempatan? Apakah hanya menjadi suatu kebetulan semata? Buku ini akan mencoba mengulasnya dengan menyajikan saksi mata dan data-data otentik agar bisa menjadi panduan bagi pelaku usaha khususnya pelaku dunia PR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar